Pasar Hantu di Balik Pintu Tua

Malam itu, Nia menggenggam erat tangan ayahnya sambil melangkah memasuki hiruk-pikuk pasar malam di desanya. Lampu-lampu berwarna-warni menggantung di atas kepala, menerangi jalanan tanah yang dipenuhi pedagang dan pengunjung. Bau manis dari gulali bercampur dengan aroma gurih jagung bakar, menciptakan suasana yang meriah. Bagi Nia, gadis kecil berusia delapan tahun, pasar malam adalah surga yang hanya datang setahun sekali.

“Nia, jangan jauh-jauh dari Ayah,” kata ayahnya, Pak Wira, dengan nada lembut namun tegas.
“Ya, Ayah,” jawab Nia, meski matanya sibuk memindai deretan kios yang memajang barang-barang menarik.

Di tengah keriuhan itu, sebuah kios kecil di sudut jalan menarik perhatian Nia. Kios itu berbeda dari yang lain—gelap, tanpa lampu terang seperti kios lainnya. Hanya diterangi oleh sebuah lentera tua yang berkelap-kelip, menampilkan barang-barang aneh seperti ukiran kayu, patung kecil, dan perhiasan kuno.

“Boneka itu cantik sekali,” ujar Nia, menunjuk sebuah boneka kayu yang duduk di rak paling depan.
Boneka itu tingginya sekitar 30 sentimeter, dengan ukiran wajah yang detail dan tatapan mata yang terasa hidup. Rambutnya dibuat dari benang hitam kusut, dan gaun yang dikenakannya tampak seperti kain tua dengan pola kuno.

Seorang pria tua muncul dari balik kios. Wajahnya keriput dengan sorot mata tajam yang membuat Nia sedikit bergidik. “Ah, kau tertarik dengan boneka itu?” tanyanya dengan suara serak.
“Iya, Pak. Berapa harganya?” tanya Nia antusias.

Pak Wira mendekati kios dengan tatapan waspada. “Nia, jangan sembarangan membeli barang. Kita tidak tahu asal-usulnya.”
Namun, pria tua itu tersenyum tipis. “Boneka ini bukan untuk semua orang. Dia hanya akan pergi dengan yang memilihnya.”
Ucapan itu membuat Pak Wira mengerutkan kening. “Apa maksud Bapak?”

“Ini hanya mainan, tapi mainan yang istimewa,” jawab pria itu penuh teka-teki. Ia menatap Nia lama sebelum menyerahkan boneka itu padanya. “Kau boleh memilikinya. Tidak perlu bayar. Tapi ingat, rawat dia baik-baik.”

Pak Wira ingin menolak, tetapi Nia sudah memeluk boneka itu dengan senyuman lebar. “Terima kasih, Pak!” serunya.
Pria tua itu hanya tersenyum samar sebelum berbisik pelan, “Jangan biarkan dia merasa kesepian.”

Saat mereka meninggalkan kios, Pak Wira merasa ada sesuatu yang aneh, seolah-olah udara di sekitar mereka menjadi lebih dingin. Namun, ia mengabaikan firasat itu. Baginya, itu hanya boneka tua. Namun, bagi Nia, boneka itu sudah menjadi teman barunya—teman yang akan membawa perubahan besar dalam hidup mereka.

Leave a Comment